Jumat, 08 Januari 2010

Selaksa Rindu



Malam semakin merangkak, instrumen alam membuat suasana terasa sangat sunyi senyap. Di luar sana bintang gemintang saling berkelap-kelip, seolah kecerian milik mereka. Rembulan mengintip di sela-sela tirai yang sesekali tertiup angin februari.
Mataku memandang ke arah langit-langit kamar yang sudah berwarna kusam, entah kapan tersentuh kuas lagi. Tapi bukan itu yang membuat ku sulit terpejam. Sebuah pembicaraan antara aku dan bunda tadi siang yang sekarang melayang-layang dalam fikiranku.
Apa yang di katakan bunda membuatku sungguh di luar dugaanku. Aku sangat merasa sureprise ketika mendengarnya, serasa ada halilintar yang meledak dia atas kepalaku.
Apa yang sedang aku rasakan saat ini sungguh sangat aneh. Senangkah seharusnya? Tapi di hati ini sungguh berkata lain, rasa benci, ingin menghindar, bahkan ingin menjauh saja lebih mendominasi hati ini.
Ketika keluhanku ketika aku masih kecil, yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku sudah menghilang, di gantikan dengan kebahagian yang seiring dengan berjalannya waktu terus bermunculan. Ya, aku merasa lebih beruntung dari pada teman-temanku yang lain. Aku dapat melanjutkan pendidikankuke perguruan tinggi karena Bunda yang mengusahakannya.
Tapi saat ini ada sosok lain hadir yang selalu ku tunggu sejak kecil. Tapi sekarang aku tidak memintanya sama sekali. bahkan, aku pikir kehadirannya saja hanya untuk merebut kebahagianku saja.
“kamu harus bertemu dengannya, besok ia akan kembali” saat bunda memberikan kabar itu.
“kuliah izin dulu untuk sehari besok saja...”timpalnya lagi. dia tidak memberikan ruang untuk aku mengelak, seperti tahu apa yang aku pikirkan.
“tapi Bun, besok mata kuliah yang sangat penting...”bujuk ku,
“ini lebih penting Novi! Atau berhenti saja sekalian kuliahnya!”bentaknya.
Haha, bunda pasti bercanda. Mana tega ia melakukan hal itu padaku, aku tahu itu.
“ibumu sudah susah payah datang kesini, kamu tidak kasian?”bentaknya lagi, menambahkan ekspresi kemrahannya yang sangat meluap.
Tapi apa? apa katanya? Sudah berapakalikah dia menyebutkan kata itu? Kata yang bila di sebut akan menohok ke ulu hatiku.
Nafasku mendesah, sesak sekali. langit-langit semakin tampak abu, sekelabu hati ini.
Bayangnganku berganti dengan memori ketika aku di takdirkan ada di sini, hidup disini, bahagia disini.
Sosok-sosok kecil lain yang menemaniku, berdatangan dengan cara mereka.
Rani, anak kalem itu senang saja di titipkan orangtuanya yang pemulung ke panti ini. Sekarang ia menginjak umur 9 tahun. Pernahkah ia berontak?
Radith, anak berwajah indo, dengan mata coklatnya yang bening, sama sekali tidak memperlihatkan wajah kesedihan. Ketika ia harus datang ke panti ini dengan tergeletak di depan pintu. Sekarang ia menginjak usia 5 bulan. Banyak yang menyayanginya, termasuk aku. Wajahnya kini penuh dengan senyuman.
Adi, anak yang hobinya menggambar dan sangat pemalas mengerjakan PR-nya, tak pernah stres ketika Bunda memaksanya belajar menulis dan meninggalkan Crayonnya untuk sementara. Ia sama sekali tidak pernah peduli dengan Ibunya, yang memberikannya dengan Cuma-Cuma.
Dan banyak lagi anak-anak yang lain, yang hampir senasib....
Dan aku Novi. Yang hadir di panti ini lebih dulu, entah sejak kapan. Yang sempat merindukan sepasang suami istri bersedan kaya raya datang untuk menjadikan anak angkat, dan memanjakanku seperti seorang Putri.
Tetapi itu dulu ketika aku mengnjak umur 8tahun. Sekarang aku yang aku anggap paling dewasa di panti ini. Asisten Bunda yang terpercaya. Adik-adikku akan patuh kepadaku karena aku galak, cerewet dan sebagainya. Tetapi mereka selau saja kembali bergelayut di tanganku dan di pangkuanku setelah marahku reda. Bercerita padaku, meminta menemani mereka belajar, meminta untuk membantu menyetrika, membereskan lemari, bahkan bermain bersama.
Sekarang, saat ini, aku sangat bahagia ada di tengah-tengah mereka. Baru kali ini aku menghadapi kenyataan. Aku masih mempunyai satu sosok, yang darahnya mengalir di tubuhku. Ya, sosok Ibu! Sosok yang aku rasa paling tega di dunia ini! paling kejam! Yang sama sekali tidak pernah menampakan wajahnya di hadapanku sama sekali. bahkan aku tak pernah mengetahui asal-usulku. Rasanya Bunda sudah mengganti semua kasih sayangnya.
Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa aku ada disini? Padahal ia masih ada. Tidak maukah ia hidup dengan ku? Atau takut tidak bisa memberiku sesuap nasi?tapi apa maksud dari kedatangannya sekarang? Dan aku takut ia akan memintaku hidup demngannya. Aku tidak mau!
Mataku sulit terpejam, fikiranku terus berputar. Marah, sedih, sudah tercampur di sini....
****
Pagi ini, sesuai permintaan Bunda, aku tidak kuliah. Karena sosok itu akan datang kesini.
Seperti apakah ia? Mirip denganku kah?
Saat Radith di gendonganku, ku lihat sekali lagi mata beningnya yang suci, polos dan lucu.... sempatkah ibu Radith berfikir beberapa kali untuk menggeletakakannya di depan pintu saat melihat matanya? Aku tidak habis fikir, tega sekali Ibunya. Mungkin sama saja dengan sosok itu, dan mungkin setega Ibunya Radith.
Dia datang!
Rambut sebahu di ikat berponi, baju kemeja pendek ang agak ketat, dengan jins biru pudar yang sedikit longgar.
Terlihat sedikit kerutan di pinggir matany, aku tafsirkan, umurnya paling 40 kurang.
Dia hanya menatapku sedikit-sedikit, dengan mata yang berkaca-kaca. Aku dengan jilbabku, beserta wajah dinginku yang mungkin membuatnya menahan untuk memelukku. Bunda hanya memperhatikan dan berkata;
“ini Ibumu Novi, sosok yang pasti kamu rindukan..” kata bunda msembari menepuk bahuku, bermaksud mendorong untuk aku menyambutnya. Aku hanya terpaku diam.
Tapi tiba-tiba ia mengangis. Menngis seseggukkan. Kenapa? karena aku diam? Atau...baru menyadari kesalahannya?
“maafkan Ibu nak...” di dalam tangisnya, “ibu sangat terharu dan bangga padamu, apa yang Ibu cita-citakan akhirnya terwujud juga, kamu jadi anak yang shalehah...tidak seperti Ibumu ini...” tangisnya semakin meledak. Bundapun meneteskan air mata dalam diamnya.
Kenapa bunda ikut menangis?
“maafkan Ibu yang tak pernah mengunjungimu... tak pernah memelukmu... karena tangan Ibu yang kotor ini tidak pantas menyentuh tubuhmu yang suci...” katanya, di sela tangis yang lebih memilukan di bandingkan tadi.
Aku masih terdiam.
“kamu boleh membenci Ibumu, karena itu memang pantas... tapi Ibu hanya ingin melihatmu sekli ini saja, setelah ini Ibu tidak akan mengganggumu kehidupanmu lagi.”
Dia menahan tangisnya, dan menarik nafas berat.
“apa yang bisa kamu banggakan dan kamu harapkan dari seorang... WTS.” Ia menangis lagi kencang.
Seperti di bangunkan dari mimpi buruk, aku setangah kaget.
Aku mengerti.... sangat mengerti....kenapa ia meninggalkan aku disini.
“aku harus pamit.” Katanya pada bunda, sambil menghapus air mata. Bunda serba salah.
Aku diam dengan tetesan air mataku.
Sosok itu keluar dari ruangan ini. Bunda hanya memandangku pasrah, walau berharap ada reaksi pada diriku.
“Ibu....!” jeritku dalam hati.
“Ibu...!” kakiku seolah terbenam dalam tanah.
“Ibu...!” teriakku, sosok itu menoleh. Aku berlari, menghambur ke pelukannya.