Senin, 15 Februari 2010

renungan...

tahukah kawan lagu raihan yang judulnya i'tiraf? liriknya yang ini nh....

wahai tuhan....ku tak layak ke syurga-Mu
namun tak pula,aku sanggup ke neraka-Mu
ampunkan dosaku terima lah tobatku
sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar...

lagu ini sekarang (saat aku menulis tulisan ini) sedang bolak-balik di putar, lagu yang sering sekali Bapa nyanyikan, lagu yang ku suka di antara lagu Raihan yang lain seperti; iman mutiara, thankyou Allah, dan yang lainnya. lagu yang tiba-tiba aku ingat beberapa jam yang lalu...setelah aku menangisi keadaanku yang benar-benar tidak bisa berbakti pada orangtuaku.... ah...lagu taubat sebenarnya. taukah kawan, syarat di terimanya taubat? yang aku tahu adalah: memuji-Nya, karena Kepada-Nya lah kita meminta, mengakui kesalahan...mengakui bahwa kita adalah hamba yang dhoif, dan tidak akan mengulangin dosa yang telah kita perbuat....
subhanallah.....

dosa-dosaku bagaikan pepasir,di pantai...
dengan rahmat-Mu ampunkan daku,
wahai Tuhan...selamatkan kami ini...
dari segala kejahatan dan kecelakaan....
kami takut, kami harap kepada-Mu
suburkanlah cinta kami kepada-Mu

kamilah hamba....yang mengharap...belas dari-MU

sungguh...lagu yang luar biasa untuk di dengarkan...cobalah kawan dengarkan di saat suasana sunyi...atau malam hari. liriknya begitu menyentuh hati ini.
merasa diri ini begitu hina di hadapan-Nya, amalan apa yang layak aku banggakan??? "kami hamba yang mengharap...belas kasih-Mu.."

sepotong kisah dari buku biografi ku ^^

AKU DAN PROSES PENDEWASAAN

Cerita saat tingkat SMA

Air mataku berlinang, air mata mama juga. Emak (nenek) mengusap kepala ku, pesan-pesannya mengalir untuk menjadi bekal nanti.

Aku dan bapa menenteng tas besar yang berisi semua keperluanku. Dengan air mata yang masih berlinang aku melihat mama menyembunyikan tangisnya. Menambah kesedihanku.

Aku kini akan tinggal di Asrama. Terpisah dari keluarga. Sungguh berat bagiku yang tidak betahan. Yang paling aku sedihkan, aku hanya di antar oleh bapa. Sedangkan teman yang lain diantar oleh satu angkot.

Setelah datang ke sekolah baruku, hanya ada beberapa orang yang tinggal di asrama, sepi sekali. Akhirnya Bapa pulang meninggalku sendiri di tempat asing itu. Membuat aku selalu ingin menangis, apalagi teman yang lain yang selalu menangis.

Kamar ku luas, terdapat dua tempat tidur tingkat. Jadi, satu kamar untuk empat orang. Waktu pertama kali masuk asrama aku satu kamar dengan Fatimah, Nurlaela, Khairunnisa.

Nurlaela yang tempat tinggal nya paling jauh sering sekali menangis. Membuat kami latah ingin menangis juga.

Kami melewati malam pertama di Asrama, dengan mata yang sulit terpejam, begitu pun dengan aku. Aku teringat suasana di rumah, merasakan suasana asrama yang terasa asing sekali.

Pada hari pertama kami harus berangkat ke sekolah dari asrama yang jaraknya satu komplek, kami pikir kami tidak akan kesiangan, tapi ternyata kami kesiangan. Awal yang menyebalkan.

Seperti biasa dalam 1 minggu awal kami terlebih dahulu menjalani Masa Ta’aruf Santri atau biasa di sebut MOS. Dan kami mencari barang-barang keperluan kami tanpa bantuan siapa pun, kami mencarinya sendiri di daerah yang sangat asing menurut kami.

Setelah kami melewati masa ta’aruf santri, kami pun mengikuti program RG dan UG. Mulai dari Muhadoroh atau belajar menjadi khotib, ada juga Bina Santri dan sebagainya.

Kelebihan lain yang saya dapatkan dari tinggal di Asrama ialah aku bisa mandiri disini. Aku memikirkan menu makanan sendiri, tidak terlalu banyak merepotkan orangtua, seperti anak kosan.

Di sini aku mengikuti Ekstrakulikuler pencak silat dan keputrian. Karakter yang Sangat bertentangan, tapi itulah aku. Aku menginginkan aku adalah wanita yang kuat yang bisa menjaga diriku sendiri dibalik keanggunan jilbabku (anggun gitu?).



Suatu hari diadakan Porseni di tingkat MA se-Sumedang. Banyak perlombaan di adakan di sana kecuali pencak silat. Semua perlombaan di ikuti sekolah ku, tapi aku tidak mengikuti satu pun. Karena aku tidak pintar berpidato, ataupun olah raga yang lain.

Pulang dari sana teman-temanku membawa pulang banyak piala. Diantaranya dua sahabatku yang jago dalam Voly ball. Melihat semua itu aku merasa rendah dari siapa pun. Aku akui bahwa aku tidak bisa apa-apa.

Beberapa bulan dari sana, tepatnya bulan desember ketika peringatan hari ibu, ada perlombaan bertemakan “Surat Cinta Untuk Bunda”. Aku dan beberapa teman ku mengikutinya. Jujur, yang aku mengikutinya hanya asal-asalan atau hanya ingin ikutan saja. Tapi yang kutulis adalah kenyataan tidak ada yang di karang. Semunya asli kenangan aku dan mama.

Hasilnya di umumkan di suatu tempat yang aku tak tahu dimana, tapi adik kelasku mengikutinya. Ternyata aku menang menjadi Juara II.

Pada saat pembagian Rapot, kemenangan ku di Umumkan di sekolah oleh wali kelasku, yang tidak di dapatkan oleh teman-teman atlet Porseni (maaf aku sedikit sombong). Tapi kekecewaanku adalah pialaku tidak bisa di bawa ke rumah. Padahal perlombaan itu bukan utusan sekolah, tapi aku mengikutinya kehendak sendiri. Aku hanya membawa amplop dan sertifikatnya saja. Ternyata salah satu piala tertinggi di kantor kepala sekolah, yang nangkring di lemari kaca adalah piala ku. Walaupun kecewa tidak bisa membawa pialaku, tapi aku bangga melihatnya berjajar dengan piala-piala yang lain….

Dari sanalah aku termotifasi menjadi seorang penulis kubulatkan kembali. Bahkan nanti ketika aku memilih jurusan jurnalistik pun karena dari sana.



Kalau di asrama, rasa persaudaraan itu terasa sekali. Ketika salahsatu dari kami makan, maka kami semua akan makan. Otomatis ketika tidak ada makanan kami semua akan kelaparan.

Menu yang paling sering kami sajikan adalah Mie. Mau di kuah, di kuah pake telur, di goreng kering, di goreng seperti bala-bala, di kuah dengan kerupuk, di campur dengan sayuran dan sebagainya. Tapi tetap saja Mie, yang rasanya begitu-begitu saja. Tapi kami tidak bosan-bosan menyajikannya.

Pagi-pagi buta sekitar jam limaan setelah shalat shubuh dan baca Al-qur’an. Sesuai dengan jadwal piket, dua orang dari kami bergiliran membeli gorengan Bu Ani yang murah meriah. Tapi sebelum pergi harus masak nasi terlebih dahulu. Maka jam enam pagi kami sudah beres sarapan pagi, dan mulai mengantri untuk mandi.

Di Asrama semua PR pasti akan di kerjakan. Karena kami akan mengerjakan nya bersama-sama, dan kami akan saling mengingatkan. Walaupun menghabiskan banyak cemilan-cemilan. Bahkan mengeluarkan waktu yang banyak, karena canda selalu ada di sela-selanya.

Ketika pulang sekolah kami akan mencari makan siang. Setelah itu, kami akan melakukan aktifitas masing-masing. Ada yang tertidur, nyuci dan sebagainya. Tapi ketika kami akan tidur, kami akan gila-gilaan. Seperti melempar-lempar bantal, foto-fotoan, nyanyi-nanyian, menata rambut segokil mungkin, hantu-hantuan dan banyak lagi. Hal inilah yang sulit aku lupakan dan tinggalkan dari suasana Asrama. Apalagi ketika kami kelas 3, persahabatan akan terasa erat sekali ketika beberapa bulan lagi kami harus berpisah.



Identik dengan citra pesantren, seharusnya kami bisa menguasai bahasa Arab dengan fasih. Tapi yang saya rasakan pengauasaan bahasa Arab di sini malah mengurangi hasil belajar ku dengan Ust. Maman. Darussalam mengejar target ilmu Umum yang lebih baik untuk bersaing dengan MAN-MAN yang ada di Sumedang. Sehingga yang kurasakan tidak mencapai kedua-duanya. Kami belajar kitab Bulughul Maram, tetapi kami juga mempelajari kimia. Apalagi ketika kami kelas 3, nilai kami di batasi dalam enam pelajaran umum. Sehingga guru-guru menghilangkan beberapa pelajaran pesantren, menggantinya dengan pelajaran umum tadi.



Ketika suasana pantai waktu itu mendung, memberikan Susana kesedihan di dalam hati-hati kami. Tapi kami tertawa waktu itu, bercanda menikmati gelombang air laut yang biru. Semua ekspresi dari kami adalah kecerian. Tak ada yang menangis satu pun. Tapi kami tahu ini adalah sebuah akhir, akhir dari kebersamaan kami. Kesedihan kami terbungkus rapat-rapat, dan di sembunyikan dalam-dalam. Semua itu karena kami tidak ingin itu terjadi.

Waktu kami di pangandaran pun berakhir. Kami harus menerima perpisahan ini.

Di batu hiu, kami melakukan perpisahan.

Ustad Epul berkata “inilah ekspresi kalian, tidak ada nyanyian perpisahan, yang ada adalah ekspresi yang tidak di buat-buat.”

Pidato Ibu kepala sekolah yang membuat kami terharu biru. Membuat aku selalu ingin memaluk sahabat-sahabat ku, dan tak ingin melepaskanya.

Tak terasa semuanya berlalu begitu saja. 3 tahun yang amat singkat sekali. Kenangan-kenangan selama ini terbuka kembali. Membuat air mata terus mengalir.

Satu persatu temanku di jemput pulang oleh keluarganya, bahkan ada teman ku yang pulang entah kemana. Akupun membereskan barang-barang yang masih ku perlukan untuk di bawa ke rumah. Sakit sekali melihat tempat tidur yang kosong tidak berseprai warna-warni lagi yang seperti biasanya, tidak ada boneka, tidak ada buku yang tergeletak di atasnya, tidak ada lagi buku yang berjajar rapi diatas lemari, tidak ada lagi baju yang menggantung di jemuran, dan tidak ada lagi jadwal-jadwal harian. Semuanya kosong, menunggu orang-orang baru menempatinya. Apakah ruangan ini merasa sedih juga? Jerit, tawa, tangis pernah ada di sini… dan dengan seketika semua pergi, yang ada hanyalah sunyi, dan sepotong episode yang selalu ku kenang.

Sebuah kisah masa lalu hadir di benak ku

Saat ku lihat

Menyibak lembaran masa yang indah

bersama sahabat ku

Sepotong episode masa lalu aku,

Episode sejarah yang membuat ku ini

Merasakan bahagia dalam dien -Mu

Merubah harapan yang ada di hidupku

Setiap sudut ku menyibak kisah

Kadang ku rindu ceritanya,

Bersama mencari cahaya -Mu

Sabtu, 13 Februari 2010

berbagi cerita (kisah tha semester 1)


Aku dan jalanan









Setiap orang memiliki kegiatan yang berbeda di setiap paginya. Termasuk aku seorang pemalas. Alarm mencoba membangunkan jam setengan tiga, dan aku hanya mematikannya, baru pada waktu adzan shubuh aku bangun dengan rasa penyesalan yang sangat dalam. Tergesa aku berwudhu dan shalat, setelah itu memilih baju dan menyetrika dengan tergesa. Waktu menunjukan setengah lima, aku harus mengepel ruangan tamu dan ruangan tengah dengan waktu setengah jam. Setengah jam lagi untuk mempersiapkan diri pergi ke kampus. Baru setelah setengah enam aku harus pergi dari rumah. Tak sempat sarapan….
Setiap hari kegiatan itu aku lakukan, setiap hari aku mencoba untuk bangun lebih awal untuk shaum atau qiamullail, dan setiap hari pula aku menyesali bangun pas adzan shubuh dan seterusnya.
Waktu itu hari senin, seperti biasa aku berangkat dari rumah jam setengah enam pagi. Dengan tas ransel berisi beberapa buku yang berat aku berjalan sekitar 20 meteran tepat di depan MI Menunggu angkot jurusan Cicalengka-Tanjungsari yang menghabiskan beberapa menit waktu ku, turun di pasar tanjungsari dengan ongkos Rp. 3000,-, dan naik bus kota yang yang murah meriah, sesuai dengan fasilitasnya.
Aku duduk di jok buatan di pinggir pintu depan dekat jendela. Kebiasaan yang sangat aku sukai bila perjalanan duduk dekat jendela, lebih suka kalau seandainya yang ku tumpangi adalah bus PATAS AC yang nyaman, empuk kursinya, pandangan selalu keluar kaca, melihat kondisi jalanan dengan kesibukannya. Tapi kembalilah ke alam nyata di mana ada jok sempit, tidak empuk, kaki yang keinjak-injak, panas, bau dan sebagainya. Bus kota yang ku sebut damri ini berjalan sangat lamban, mungkin karena isi di dalam nya yang berjubel, mungkin juga karena mesinnya yang sudah tua. Aku kira dua-duanya benar, tak ada yang salah, dan sesuai dengan fakta. Bus sangat lamban…lamban, dan akhirnya berhenti juga. Baru ku sadari, hari senin adalah hari yang menyebalkan. Kali ini bus berhenti bukan karena tuanya mesin bus, tapi macet total. Kulihat banyak motor mencoba menerobos, bahkan memenuhi jalur kanan. Mereka terus mencoba bergerak. Yang ku perhatikan adalah berjuta-juta helm bergerak yang terlihat dari jendela bus, membuat aku pusing melihatnya.
Tak terasa sedah 1jam bus tidak bergeming sedikit pun, waktu sudah menunjukan jam 7.10. cahaya matahari yang menebus jendela menerpa kepala ku yang di balut kerudung hitam. Rambutku basah dengan keringat, pipiku panas. Baru kali ini aku bingung, seandainya aku turun dan jalan kaki, tapi kampus masih jauh. Mau naik angkot… jangan gila, angkot sama macet juga. Beratus-ratus helm mengelilingi bus damri yang ku tumpangi, semakin kesalnya aku memperhatikan mereka bergerak.
Bus damri yang ku tumpangi catnya hamper mengelupas itu mengeluarkan sayap, membentangkannya dan mengepakkannya ke atas. Bus naik 10 meteran, keluar dari kemacetan, lalu dengan bebas terbang kearah bandung, aku tertawa senang dan takjub melihat pemandangan di balik jendela, terlihat jalan yang berkelak-kelok di penuhi dengan kendaraan bermotor yang tak bergerak kena macet. Akhirnya bus ajaib berhenti di depan UIN aku turun dari bus yang sempat aku hina itu.
Imajinasi itu meletus seperti balon dari sabun yang transparan, terbang hanya sebentar saja. Bus yang ku tumpangi masih di kelilingi lautan helm. Sampai jam delapan baru lah jalanan lancar. Setengah sembilan kurang aku ada di depan kelas. Dosen sudah ada, tapi aku berani masuk hanya setengah jam. Aku tersenyum kepada teman-temanku dengan hati yang pedih, terasa sekali keringat mengucur di kepala ku. Setengah enam aku berangkat dan sampai kampus setengah sembilan, sungguh sangat menyedihkan.

Hari senin, minggu berikutnya setelah kejadian keterlambatanku masuk kelas. Jam 5 aku sudah mandi dan keramas, bajuku sudah rapih. Dalam waktu yang singkat aku menyelesaikan sarapan, jam 05.15 aku berangkat. memang terlalu dini, tapi bagaimana lagi…
Tenyata bila kita berangkat lebih pagi belum terjadi macet, jalanan lancar. Aku datang ke kampus jam 06.30 an. Ternyata kelas jurnalistik C kosong melopong. Aku tidak tahu kalau dosen akan datang jam ke-2. gudubrak…!

hari senin minggu berikutnya…
aku lebih tenang kali ini, tepatnya aku lupa lagi kalau waktu itu hari senin. Aku menyelesaikan tugasku sampai jam 5, dan berangkat jam setengah enam seperti hari-hari yang lain.
Aku baru ingat setelah jalanan macet, hati ku berdebar-debar tak karuan, masa aku harus kesiangan terus di mata kuliah ini? Aku pasrah tapi tak tenang (apakah itu bisa di sebut pasrah?), hatiku terus berdoa Kepada Allah, yang mengatur semuanya.
Sudah lama aku komat-kamit berdoa, aku menjadi teringat kepada perkataan seorang dosen. Beliau bercerita tentang mahasiswa yang kesiangan, sebelum ia masuk kelas dia berprasangka yang buruk kepada dosennya. bahwa dosennya galak, akan memarahi dan seterusnya. Dan kenyataanya akan sama dengan prasangkanya atau ia akan ketakutan terlebih dahulu.
Dari sana hatiku mencoba tenang, kalem. Langsung saja terlintas bahwa dosen mata kuliah ini tidak akan datang. Walaupun sedikit aku tidak percaya atas pikiran ku, karena dosen ini tak pernah absent dan selalu tepat waktu. Tapi bisa saja ini terjadi.
Setelah aku sampai kampus, ada sms dari temanku, yang isinya,
Ukhty.., anti msih d mn?
Kalem y, jngn rusuh,nnti terpeleset.
Dsennya jg lom ada!
Wah, sepertinya si bapak kena macet juga y…, piker ku. Aku mempercepat jalanku. Setelah datang ke kelas banyak anak-anak yang di luar sebagian lagi di dalam kelas. aku duduk di kursi, mengatur pernafasanku.
“tha, baru dating ya?”sambil nyengir kosma nanya pada ku,
aku mengangguk membalas jawabannya, masih mengatur nafas.
Si kosma maju ke depan kelas.
“pengumuman! Si bapak nggak akan datang, diganti besok jam ke-3 di gabung dengan kelas B.” sambil nyengir lebar kearah ku. Aku hanya melongo, tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari ini hanya satu mata kuliah, dan dosennya absent. Kalo tahu begini aku nggak akan capek-capek datang ke kampus, menghamburkan uang untuk ongkos.

Kenapa aku suka sekali berkendaraan? Entahlah, aku sangat menikmati pemandangan di balik jendela yang bergerak hilir mudik. Dari sana imajinasiku terus berputar.
Selain itu, aku suka dengan lagu-lagu musisi jalan, apalagi lagu sunda, saking seringnya, aku hampir hapal lagu yang sering di nyanyikan musisi jalan tersebut, contohnya seperti ini,
Kota leutik camperenik
Najan letik tapi resik
Ngalewat cadas pangeran
Duh kota sumedang…
Di papay ku cipeles
Tampomas nu matak waas..
Lagu ini mengingatkan aku ketika aku masih SMA dulu di Sumedang. Aku naik angkot, melewati jalan cadaspangeran yang berkelak-kelok, dengan pemandangan alam yang begitu menakjubkan. Di sisi jalan pohon pinus berjajar, memayungi jalan dari sengatan matahari. Sawah terasering bagaikan tangga yang di balut karpet hijau.
Dan aku ingat ketika aku di Asrama, gunung Tampomas mencuat tinggi di hadapan gedung Asrama, yang sesekali di hiasi pelangi. Keindahan gunung itu jelas sekali, hutannya masih lebat, dan tinggi sekali.
Tapi sayang juga, aku teringat sungai Cipeles yang membelah kota sumedang, memisahkan jalan Geusan Ulun dan jalan Mayor Abdurachman airnya kotor, tapi masih berwarna coklat. Di sisinya banyak sampah bertebaran, walaupun terdapat plang yang mengingatkan jangan buang sampah sembarangan.
Itu baru satu lagu. Tapi seandainya, saya melihat hal-hal yang menurut saya menarik, maka saya akan berfantasi untuk membuat cerita dari apa yang saya lihat tersebut. Saya akan membayangkan alur perjalanan cerita itu sedetail mungkin.
Tapi ketika aku kecapean, pulang sekolah ataupun kuliah. Maka yang paling enak itu tidur di kendaraan. Tidur yang efektif, sebentar tapi melepas lelah, juga memanfaatkan waktu. He…