Sabtu, 13 Februari 2010

berbagi cerita (kisah tha semester 1)


Aku dan jalanan









Setiap orang memiliki kegiatan yang berbeda di setiap paginya. Termasuk aku seorang pemalas. Alarm mencoba membangunkan jam setengan tiga, dan aku hanya mematikannya, baru pada waktu adzan shubuh aku bangun dengan rasa penyesalan yang sangat dalam. Tergesa aku berwudhu dan shalat, setelah itu memilih baju dan menyetrika dengan tergesa. Waktu menunjukan setengah lima, aku harus mengepel ruangan tamu dan ruangan tengah dengan waktu setengah jam. Setengah jam lagi untuk mempersiapkan diri pergi ke kampus. Baru setelah setengah enam aku harus pergi dari rumah. Tak sempat sarapan….
Setiap hari kegiatan itu aku lakukan, setiap hari aku mencoba untuk bangun lebih awal untuk shaum atau qiamullail, dan setiap hari pula aku menyesali bangun pas adzan shubuh dan seterusnya.
Waktu itu hari senin, seperti biasa aku berangkat dari rumah jam setengah enam pagi. Dengan tas ransel berisi beberapa buku yang berat aku berjalan sekitar 20 meteran tepat di depan MI Menunggu angkot jurusan Cicalengka-Tanjungsari yang menghabiskan beberapa menit waktu ku, turun di pasar tanjungsari dengan ongkos Rp. 3000,-, dan naik bus kota yang yang murah meriah, sesuai dengan fasilitasnya.
Aku duduk di jok buatan di pinggir pintu depan dekat jendela. Kebiasaan yang sangat aku sukai bila perjalanan duduk dekat jendela, lebih suka kalau seandainya yang ku tumpangi adalah bus PATAS AC yang nyaman, empuk kursinya, pandangan selalu keluar kaca, melihat kondisi jalanan dengan kesibukannya. Tapi kembalilah ke alam nyata di mana ada jok sempit, tidak empuk, kaki yang keinjak-injak, panas, bau dan sebagainya. Bus kota yang ku sebut damri ini berjalan sangat lamban, mungkin karena isi di dalam nya yang berjubel, mungkin juga karena mesinnya yang sudah tua. Aku kira dua-duanya benar, tak ada yang salah, dan sesuai dengan fakta. Bus sangat lamban…lamban, dan akhirnya berhenti juga. Baru ku sadari, hari senin adalah hari yang menyebalkan. Kali ini bus berhenti bukan karena tuanya mesin bus, tapi macet total. Kulihat banyak motor mencoba menerobos, bahkan memenuhi jalur kanan. Mereka terus mencoba bergerak. Yang ku perhatikan adalah berjuta-juta helm bergerak yang terlihat dari jendela bus, membuat aku pusing melihatnya.
Tak terasa sedah 1jam bus tidak bergeming sedikit pun, waktu sudah menunjukan jam 7.10. cahaya matahari yang menebus jendela menerpa kepala ku yang di balut kerudung hitam. Rambutku basah dengan keringat, pipiku panas. Baru kali ini aku bingung, seandainya aku turun dan jalan kaki, tapi kampus masih jauh. Mau naik angkot… jangan gila, angkot sama macet juga. Beratus-ratus helm mengelilingi bus damri yang ku tumpangi, semakin kesalnya aku memperhatikan mereka bergerak.
Bus damri yang ku tumpangi catnya hamper mengelupas itu mengeluarkan sayap, membentangkannya dan mengepakkannya ke atas. Bus naik 10 meteran, keluar dari kemacetan, lalu dengan bebas terbang kearah bandung, aku tertawa senang dan takjub melihat pemandangan di balik jendela, terlihat jalan yang berkelak-kelok di penuhi dengan kendaraan bermotor yang tak bergerak kena macet. Akhirnya bus ajaib berhenti di depan UIN aku turun dari bus yang sempat aku hina itu.
Imajinasi itu meletus seperti balon dari sabun yang transparan, terbang hanya sebentar saja. Bus yang ku tumpangi masih di kelilingi lautan helm. Sampai jam delapan baru lah jalanan lancar. Setengah sembilan kurang aku ada di depan kelas. Dosen sudah ada, tapi aku berani masuk hanya setengah jam. Aku tersenyum kepada teman-temanku dengan hati yang pedih, terasa sekali keringat mengucur di kepala ku. Setengah enam aku berangkat dan sampai kampus setengah sembilan, sungguh sangat menyedihkan.

Hari senin, minggu berikutnya setelah kejadian keterlambatanku masuk kelas. Jam 5 aku sudah mandi dan keramas, bajuku sudah rapih. Dalam waktu yang singkat aku menyelesaikan sarapan, jam 05.15 aku berangkat. memang terlalu dini, tapi bagaimana lagi…
Tenyata bila kita berangkat lebih pagi belum terjadi macet, jalanan lancar. Aku datang ke kampus jam 06.30 an. Ternyata kelas jurnalistik C kosong melopong. Aku tidak tahu kalau dosen akan datang jam ke-2. gudubrak…!

hari senin minggu berikutnya…
aku lebih tenang kali ini, tepatnya aku lupa lagi kalau waktu itu hari senin. Aku menyelesaikan tugasku sampai jam 5, dan berangkat jam setengah enam seperti hari-hari yang lain.
Aku baru ingat setelah jalanan macet, hati ku berdebar-debar tak karuan, masa aku harus kesiangan terus di mata kuliah ini? Aku pasrah tapi tak tenang (apakah itu bisa di sebut pasrah?), hatiku terus berdoa Kepada Allah, yang mengatur semuanya.
Sudah lama aku komat-kamit berdoa, aku menjadi teringat kepada perkataan seorang dosen. Beliau bercerita tentang mahasiswa yang kesiangan, sebelum ia masuk kelas dia berprasangka yang buruk kepada dosennya. bahwa dosennya galak, akan memarahi dan seterusnya. Dan kenyataanya akan sama dengan prasangkanya atau ia akan ketakutan terlebih dahulu.
Dari sana hatiku mencoba tenang, kalem. Langsung saja terlintas bahwa dosen mata kuliah ini tidak akan datang. Walaupun sedikit aku tidak percaya atas pikiran ku, karena dosen ini tak pernah absent dan selalu tepat waktu. Tapi bisa saja ini terjadi.
Setelah aku sampai kampus, ada sms dari temanku, yang isinya,
Ukhty.., anti msih d mn?
Kalem y, jngn rusuh,nnti terpeleset.
Dsennya jg lom ada!
Wah, sepertinya si bapak kena macet juga y…, piker ku. Aku mempercepat jalanku. Setelah datang ke kelas banyak anak-anak yang di luar sebagian lagi di dalam kelas. aku duduk di kursi, mengatur pernafasanku.
“tha, baru dating ya?”sambil nyengir kosma nanya pada ku,
aku mengangguk membalas jawabannya, masih mengatur nafas.
Si kosma maju ke depan kelas.
“pengumuman! Si bapak nggak akan datang, diganti besok jam ke-3 di gabung dengan kelas B.” sambil nyengir lebar kearah ku. Aku hanya melongo, tak percaya dengan apa yang terjadi. Hari ini hanya satu mata kuliah, dan dosennya absent. Kalo tahu begini aku nggak akan capek-capek datang ke kampus, menghamburkan uang untuk ongkos.

Kenapa aku suka sekali berkendaraan? Entahlah, aku sangat menikmati pemandangan di balik jendela yang bergerak hilir mudik. Dari sana imajinasiku terus berputar.
Selain itu, aku suka dengan lagu-lagu musisi jalan, apalagi lagu sunda, saking seringnya, aku hampir hapal lagu yang sering di nyanyikan musisi jalan tersebut, contohnya seperti ini,
Kota leutik camperenik
Najan letik tapi resik
Ngalewat cadas pangeran
Duh kota sumedang…
Di papay ku cipeles
Tampomas nu matak waas..
Lagu ini mengingatkan aku ketika aku masih SMA dulu di Sumedang. Aku naik angkot, melewati jalan cadaspangeran yang berkelak-kelok, dengan pemandangan alam yang begitu menakjubkan. Di sisi jalan pohon pinus berjajar, memayungi jalan dari sengatan matahari. Sawah terasering bagaikan tangga yang di balut karpet hijau.
Dan aku ingat ketika aku di Asrama, gunung Tampomas mencuat tinggi di hadapan gedung Asrama, yang sesekali di hiasi pelangi. Keindahan gunung itu jelas sekali, hutannya masih lebat, dan tinggi sekali.
Tapi sayang juga, aku teringat sungai Cipeles yang membelah kota sumedang, memisahkan jalan Geusan Ulun dan jalan Mayor Abdurachman airnya kotor, tapi masih berwarna coklat. Di sisinya banyak sampah bertebaran, walaupun terdapat plang yang mengingatkan jangan buang sampah sembarangan.
Itu baru satu lagu. Tapi seandainya, saya melihat hal-hal yang menurut saya menarik, maka saya akan berfantasi untuk membuat cerita dari apa yang saya lihat tersebut. Saya akan membayangkan alur perjalanan cerita itu sedetail mungkin.
Tapi ketika aku kecapean, pulang sekolah ataupun kuliah. Maka yang paling enak itu tidur di kendaraan. Tidur yang efektif, sebentar tapi melepas lelah, juga memanfaatkan waktu. He…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar