Rabu, 12 Mei 2010

cerpen lagi....


ini adalah cerpen yang keberapa kalinya aku buat, sebenarnya cerpen ini adalah cerpen yang ku ajukan untuk perlombaan di lembaga dakwah kampus saya. tapi ternyata tidak menang sama sekali,,,sempat kecewa sih, karena saya belum menerima kritikan jelek dari teman-teman saya yang baca cerpen ini, rata-rata bilang: " bagus, bagus,,,". siapa yang salah, entahlah....
jadi intinya, aku pengen tahu donk, sisi kelemahan dari cerpen ini dari kawan-kawan semua...biar aku bisa koreksi...


SISI LAIN AKTIFIS
19 Agustus 2009
Malam semakin hening, suara alam mendayu mengantar insan yang kelelahan terlelap di bawa angan lepas. Menjadikan gelap sebagai pelindung dari sepi yang bertepi. Berlindung dari dingin udara yang menusuk dengan selimut-selimut, merengkuh yang menghantar pada kenyamanan tidak abadi.
Tengah malam tepat, ketika sunyi semakin mencekam, mata terpejam di buai mimpi-mimpi. Suara itu, kembali terdengar lirih...sendu, menyekitkan, memecah keheningan. Membukakan mata ini sekaligus menjatuhkanku dari buai mimpi yang telah melambung tinggi. Sejenak ku terganggu. Walau terusik sedikit, ku pejam lagi, suara itu terkalahkan oleh rasa kantukku yang begitu berat. Suara itu masih terdengar samar...samar.... dan akhirnya lenyap, menghilang terhisap menembus pada lorong yang pekat tak berujung.
***
20 Agustus 2009
Pagi buta aku telah ada di kampus. Banyak agenda yang telah kususun waktu dan telah terpilih dari segi prioritasnya. Salah satu yang tereliminasi adalah kuliah ku. Ada kesempatan tidak kuliah selama dua kali saja. Untuk awal masuk kuliah, biasanya dosen dan mahasiswa sering bermalas-malasan.
Agenda pertama konsolidasi aksi dari jam enam pagi. Dilanjutkan dengan aksi hingga siang hari.
Aku dan perempuan yang lain mencorat-coret karton dengan spidol, berisikan coretan-coretan kekesalan yang telah meluap tak terbendung lagi. Keadilan sudah dimatikan di kampus ini. Seolah mahasiswa menjadi kambing congek! Fungsi mahasiswa disini tak lagi jadi Agent of change!
Semangat muda ku membara di kampus ini. Ingin sekali rasanya merebut peradaban gilang-gemilang yang pernah tercipta. Yang hanya jadi sejarah kenangan masa lalu.
Ku kenakan jas almamater, membuktikan rasa cinta ku pada kampus ini. Dengan erat ku kepalkan tangan, dan mengangkatnya tinggi-tinggi. teriakan-teriakan memekakkan telinga, saling cekcok hanya berargumen kebohongan-kebohongan yang membuat amarah semakin memerah.
Mentari yang gagah menjadi saksi, keringat-keringat, dan teriakan tak menbuat surut. Tak ada lelah untuk menyerah. Suara ku lantangkan lagi.
***
Kuhadapi bangunan sederhana, tempat dimana beberapa orang tinggal disini, termasuk aku bagiannya. Lampu ruangan depan sudah gelap. Pintunya rapat, terkunci. Kuketuk kaca jendela dengan lembut.
“Assalamuaklaikum....” Suaraku tertahan.
“Assalamualaikuuuuummm...”Ku ulangi lagi, masih dengan volume suara yang sama. Tapi di perpanjang.
Suara sandal yang terseret malas, terdengar di balik pintu, menjawab salam dengan singkat dan berat. Ia memutar kunci di balik pintu, dan membukanya. Bapak.
Aku masuk rumah, menghempaskan Ransel yang membebaniku bahuku dari berangkat hingga pulang di kamarku.
Bapak tidak bertanya apa-apa mengenai kuliahku dan aktivitasku di kampus, beliau sepertinya sudah tahu persis tentang apa yang terjadi denganku, setelah satu tahun kemarin lelah mengajukan berbagai pertanyaan. Begitupun aku, telah lelah untuk menjawab semuanya.
Ku teguk dua gelas air, mengganti energi yang telah lama hilang. Dahaga sirna sudah...
Tinggal tubuh ini meminta perhatianku, untuk mengistirahatkannya secara total. Cukup delapan jam saja.
Bergegas aku shalat, lalu aku terlelap dengan asa dan mimpi-mimpi di balut selimut rindu... rindu pada sesuatu yang entah apa...
Rindu yang menyesakkan dada. Rindu pada sesuatu yang telah aku lupakan. Kedamaian itu... kapan aku bertemu dengannya lagi? Tapi suara hatiku yang berbicara bukan diri ini. Maka aku sendiri tak pernah menggubrisnya.
***
Aku tersentak kaget, keringat bercucuran di dahiku. Aku kira aku terbangun dari mimpi buruk, yang sangat buruk. Aku meludah ke arah kiri, lalu ku berdoa, jangan pernah terjadi. Tapi suara lirih yang ada di mimpikuku menjadi nyata, terasa jelas diantara sayup dinginnya malam. Sambil menyeka keringatku, kulihat ke arah jam handphone yang ada di sisiku. Tengah malam.
Suara lirih itu membuatku memandang langit-langit kamar yang sudah abu-abu. Suara kesakitan itu. ku cengkram erat-erat selimutku lalu menyingkapkannya. Ku seret langkah ini...ku arahkan tubuhku ke ruang tengah rumah... lalu aku duduk di kursinya, dan meneguk sisa air kemarin. Aku terdiam diantara suara lirih itu.
***
21 Agustus 2009
Pagi buta, dengan perjalan sekitar 26 kilo meter menuju kampus. Ada aksi lanjutan, ini adalah agenda penting setelah kemarin memanas-manasi telinga para pejabat. Sekarang adalah gebrakan, yang harus di tanggapi pihak Rektorat atas kasus ini.
Seperti biasa, mentari menemani langkah kita untuk menyuarakan keadilan di kampus kita tercinta, cakrawala biru tak bertepi melapangkan hati kita. Lebih spektakuler dari kemarin, aksi kita di ikuti tambahan peserta yang cukup banyak. Dan lebih menarik lagi, aksi kita kemarin memancing organisasi lain ikut aksi hari ini, merekapun menyadari ketidak beresan pejabat kampus.
“Revolusiiii...revolusi sampai mati!”
Ya, perubahan total yang kami harapkan, perjuangan untuk mengembalikan hak-hak mahasiswa yang terabaikan. Bukan hanya kuliah, nilai yang memuaskan, sehingga cepat-cepat mendapat gelar. Tetapi sekali lagi sebagai agent of change!
Aksi yang sungguh menarik, terlama, dan sambung-menyambung. Dari pagi hingga sore hari. Hanya satu yang kita tunggu, tanggapan dari pihak Rektorat. Tapi mereka tak memunculkan batang hidungnyapun.
Hari ini, tidak sia-sia, walau telah aksi selama tujuh jam, dan tidak di tanggapi oleh pihak rektorat. maka besok lanjutkan lagi. Dan harus sampai bertemu dengan pihak rektorat.
***
Seperti biasa suasana semakin gelap ketika ku pijak rumah orangtua ku. Kali ini aku di sambut tatapan sinis kakakku yang kebetualan sedang ada di rumah. Tak kuhiraukan.
Terlalu banyak percekcokan sebelumnya. Dan aku lelah menanggapinya, lebih persisnya...aku kalah dengan argumen-argumennya untuk memarahiku. Maka lebih baik aku diam, biar dia terlebih dahulu berbicara.
Ku pura-pura menyiapkan air hangat untuk membuat air susu coklat. Tapi dia tetap diam. Maka aku mengambil kesimpulan, bahwa dia sudah lelah juga menghadapiku, bukan sebaliknya, aku tak seharusnya lelah menerima ceramah gratis darinya.
Akhirnya aku masuk kamarku, dan malam ini aku akan terlelap, tanpa ada gangguan lagi.
***
22 Agustus 2009
“Kawan, kita tunggu dirimu di pinggir kampus.” Kubaca pesan singkat itu sekilas, tak banyak tanya lagi aku segera bergegas merapih kan diri untuk berangkat ke kampus walau hari ini adalah hari sabtu.
Agenda urgen, yang tak mungkin aku tinggalkan. Rapat. Ya, kita semestinya menyusun aksi lanjutan lagi, dan harus lebih heboh dari yang telah kita lakukan.
“Kita memerlukan pamflet yang akan membuat telinga para pejabat lebih memerah lagi, sekaligus mengajak mahasiswa lain menyadari dan berpartisipasi langsung.” Dengan lantang suara ketua koordinator Aksi membahana di ruangan rapat.
“ Saya tugaskan ke Emi!” katanya sambil menunjuk diriku.
Setalah dari itu, aku menyibukan diri di depan komputer di basecamp khusus untuk merancang strategi dari isu kampus saat ini, di temani teman-teman yang ikut menyerukan ide-idenya.
***
Malam ini, jeritan dan suara kesakitan itu datang masih awal. Sekitar jam sembilan malam, ketika pipiku belum sama sekali menempel pada tempat tidur. Aku hanya terdiam di antara sunyi ruanganku, kamar paling ujung di rumah orangtuaku. Menguncinya rapat-rapat. Karena aku takut, takut dengan ketidakberdayaanku menghadapinya.
***
23 Agustus 2009
Ketika aku menginjakakan kaki di gerbang kampus sekitar jam tujuh pagi, di hari minggu, karena tak ada hari libur bagiku. Banyak mahsiswa yang berjalan-jalan di area kampus.
Ku langkahkan kaki semakin bersemangat, aku puas dengan dinding-dinding suram itu yang telah diisikan pamflet yang ku buat kemarin bersama kawan-kawan seperjuanganku. Sungguh, dinding yang berbicara.
Kulihat disana, disana, dan disana... hmmm...bagus sekali...
Seketika itu ada segerombolan orang memperhatikanku, entah apa yang mereka lihat. Tatapan mereka sungguh tajam, menikam. Di tambahkan dengan ekspresi sinis yang terlalu mudah dibaca oleh mataku, walau sekilas.
Aku tak gentar. Jelas, mereka adalah orang-orang itu.
***
Sore hari ketika aku berjalan pulang sendiri setelah agenda-agenda organisasi ku bereskan. Melewati jalan raya, menuju halte bis kota yang akan ku tumpangi. Tapi tiba-tiba...
“Bruuukkk!” Sesuatu membantingku dari belakang.
Tubuhku hampir jatuh terjungkal, tapi aku bisa menyeimbangkannya. ternyata sebuah motor telah menabrakku, dengan secepat kilat motor itu melaju cepat. Tak kulihat dua wajah yang tertutup helm itu. Tubuh bagian kanan terasa ngilu. Dan anehnya tak ada yang memperhatikan kejadian ini satu orangpun.
***
Lebam-lebam, itu sudah pasti. Dan tak tahu apakah ada masalah yang terjadi dengan tulangku, sehingga sangat terasa kaku. Ku rasakan sendiri nyeri yang sangat menyakitkan. Menahannya berusaha menghilangkannya, tapi tak mampu bila hanya di diamkan saja. Tapi jangankan untuk di obati, untuk di bicarakan saja aku tak mampu.
Bersama lirihan suara yang setiap malam hadir, sakitku semakin menjadi. Lalu tangisku pecah. Semakin aku tak bisa berbuat apa-apa kepada “lirihan itu” yang samakin awal kudengar.
***
24 Agustus 2009
Siang itu di kampus di lakukan aksi lagi, dua organisasi bersatu. Di mulai dengan mengajak para mahsiswa baru untuk berpartisipasi. Tanpa dugaan kita, ternyata organisasi yang mendukung pejabat kampus juga melakukan aksi.
Dadaku berdegup, punggung kananku semakin terasa ngilu, tangan kananku kaku. Firasatku bergerak cepat, mengajak tubuh ini untuk mundur dari kerumunan aksi. Tapi ada lagi yang berkata “tidak” padaku. Kakiku terasa menancap pada tanah, kebenaran tidak bisa di bawa mundur...
Mereka semakin dekat dan anarkis, walau masa kami jauh lebih banyak, tapi sepertinya aksi mereka di buat untuk kekacawan. Mereka bersumpah serapah yang menghujani kami.
Dekat, dekat dan semakin dekat, ternyata di kerumunan masa kami ada yang memungut batu dan melemparkannya pada lawan kami, entah siapa, yang jelas itu pasti oknum.
Tidak bisa di elakkan lagi, mungkin ini adalah rencana mereka. Mereka langsung melempari kita dengan batu, sengat ganas sekali. Kulihat satu orang korban yang terkena lemparan batu itu, sikut yang ia gunakan untuk melindungi wajahnya sobek.
Bumi yang kupijak terasa berputar dan bergemuruh hebat. Seseorang menyeretku dengan paksa. Kulihat lagi wajah lelaki yang berlumuran darah hingga berceceran pada jas almamaternya.
Suara pekikan dan jeritan terus bersahutan, batu-batu berterbangan tak beraturan di atas kepala.
Kepalaku semakin berat, bumi yang kuliahat semakin berputar, kaki yang ku seret terasa banyak rintangan yang menghalangi. Tangan kananku yang di seret seseorang semakin tak karuan.
Lalu semua menjadi pekat, membentuk sebuah pusara yang berputar kencang. Gemuruh menghilang, dan suara berdebam terakhir yang kudengar.
***
Kubuka mataku pelan-pelan yang terlihat adalah suram, mataku masih tidak normal. Ku pejamkan lagi lalu membukanya, sahabatku sedang ada di sisiku, wajahnya sayu penuh dengan bekas tangisan. Maka terasa semua sakit yang ada ditubuhku, tidak hanya tubuh bagian kanan, semunya terasa remuk, hingga ke ujung kaki.
Sahabatku terdiam, akupun tak bisa berkata-kata. Masih jelas tergambar kejadian itu di kepalaku. Terlalu sedih bila di tangisi. Mungkin banyak teman-teman ku sedang di rumahsakit, dan mengalami luka yang sangat parah.
Biarlah aku dirawat hanya dikosan sahabatku saja. Walua aku tahu aku sempat terinjak-injak masa.
***
25 Agustus 2009
Pagi ketika aku menginjakkan kaki di depan rumah orangtuaku, sehari setelah kejadian itu. Mungkin orangtuaku sudah tahu berita tentang kejadian di kampus kemarin. Tapi tak ada satu orang pun ada didalamnya. Kutanyakan pada tetangga.
Dengan merasa aneh tetanggaku menjawab. “Bukanya Ibu sedang di rawat di rumah sakit Nenk? Ari enenk Emi kemana aja atuh.. emang nggak di kasih tahu ya?”
Ku balas dengan senyuman. “Rumah sakit mana ya bu?.”
“Rumah sakit umum, katanya yang biasa Ibu kontrol.”
“Makasih...bu...”
Dengan lemah, ku arahkan tubuhku ke jalan raya kembali. Menyetop angkot yang akan membawaku kerumah sakit umum, tempat Ibuku di rawat.
Alasan keluargaku tidak memberi tahuku kejadian-kejadin di rumah sudah biasa aku dapatkan. Tapi bila tentang Ibu dirawat adalah sangat keterlaluan. Walau aku merasa semuanya memang salahku.
***
Aku terdiam di lorong rumahsakit, di depan ruangan tempat Ibuku di rawat. Keluargaku tak memberikan sedikit sapaanpun padaku. Aku faham.
Ternyata sakit hati itu sangat menyakitkan di bandingkan rasa sakit tubuhku oleh injakan-injakan saat kejadian kemarin. Bahkan itu di perlakukan oleh keluargaku.
Hingga akhirnya ibuku menghembuskan nafas terakhirnya. Sesalku tak terbendung lagi. Selama tiga tahun aku menghabiskan masa SMA ku di tempat yang jauh darinya, dan dua tahun terakhir aku tak pernah meluangkan waktu untuknya. Siangku untuk kampus, malamku untuk diriku, sangat jarang aku bertemu dengannya, walau satu rumah. Sudah lupa aku pada senyuman manisnya, sudah lupa aku pada peluknya yang begitu hangat, setelah penyakit struke menimpanya.
Yang aku ingat adalah lirihan sendu yang menyakitkan ketika penyakit itu datang menemuinya dimalam-malam itu. Dimana aku hanya terdiam dan tidak mengobatinya.

Sabtu, 08 Mei 2010

kekuatan


hidup adalah perjalanan, hanya perjalanan yang cukup singkat, dan kehidupan adalah sarana pengumpulan pahala untuk kehidupan yang kekal.
maka perjalanan adalah sebuah roda, berputar dari atas ke bawah, begitupun sebaliknya dari bawah ke atas. itu semua adalah kehidupan, selalu ada perubahan yang signifikan.
perjalan juga berarti sebuah proses, proses pendewasaan.
bila kita sekarang ada di atas, maka syukurilah apa yang telah ada. bila pun sedang berada di bawah, maka ingatlah bahwa itu adalah sebagai pengasah mental kita. ingat, dengan firman Allah, sesungguhnya Allah tidak membebankan kecuali sesuai dengan kemampuan kita. maka yakinlah dengan diri kita, bahwa kita bisa menghadapi serumit apapun masalah yang terjadi pada diri kita.
masalah-masalah yang kerap membuat kita merasa kecil dan kerdil. di tambah dengan keluh seakan kekuatan bukanlah milik kita.
tapi sadarilah, hitung masalah yang sedang kita hadapi. seberapa banyak masalah yang kita miliki dengan jumlah yang tidak bermasalah. kita masih punya beberapa yang tidak bermasalah. itu adalah kekuatan kita.
yang terpenting adalah ada Allah bersma kita, Dialah Maha pemberi kekuatan.

kenapa aku menulis demikian?karena aku yakin atas kekuatan yang aku miliki. walaupun hanya beberapa, itu adalah kekuatan. dengan kekuatan yang separuh itulah aku bisa melawan masalah.
yang pasti dengan yakin bahwa Allah akn menolong kita.
sahabat, yakinlah atas pertolongan Allah.