Sabtu, 07 Agustus 2010

Sepenggal di jalanan

19.00
Ku pandangi jendela bis yang melaju cepat. Memberikan warna-warna kehidupan yang beragam, memberikan arti bahagia dan sedih adalah kesatuan hidup yang tak pernah bisa menyatu dari makna sebenarnya. Jalanan sibuk, kapitalisme merajalela. Wajah-wajah amarah, wajah-wajah tak peduli, wajah-wajah lelah menghiasi setiap degup kehidupan ini berlngsung begitu lama.
Kuperhatiakan loncatan-loncatan pedagang asongan naik dan turun bis ekonomi yang berjejal, diiringi petikan gitar dan suara nyaring mendayu-dayu. Segala bebauan ada disini, semuanya bisa kita “nikmati” tidak lain milik bis ekonomi. Para pedagang pulang dari kota berjejal, tempat dagangan mereka yang kosong ataupun yang masih berisi ikut memenuhi ruang-ruang manusia.
Suara-suara yang memekakkan telinga, silih berganti. Sibuk, dan terburu.
“ leunyi, leunyi!” kernet yang satu.
“maja, bu? Maja?” dan kernet yang lainnya.
Aku tak penat melihat dan mengalami semua ini karena sudah terbiasa. Hiburan yang membuat ujung bibirku sedikit melengkung ke atas. Dengan langit memerah jingga, sayup-sayup suara adzan dari beberapa mesjid di jalan terdengar sekilas-sekilas. Hingga cakrawala berganti peran lagi. Mata ku terpejam, menikmati alunan irama mesin bis, dan jalan yang berkelok-kelok. Aku tidak lelah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar